Pemilu 2009 tinggal didepan mata. Semua partai mulai turun ke jalan-jalan berpawai mengelilingi kota dengan para caleg sambil tersenyum penuh wibawa melambai-lambaikan tangan pada khalayak. Jauh sebelum itu, semua partai sibuk mengenalkan para calon legislatif mulai dari pamflet, spanduk, iklan di TV dan lain sebagainya. Yang belakangan diketahui beberapa dari caleg itu tidak jelas latar belakang pendidikannya.

Ramainya penyambutan Pemilu 2009 ini , bagi sebagian masyarakat kita menyisakkan kebingungan. Partai-partai yang menjamur subur di Indonesia dengan mantap menawarkan janji partai pada masyarakat kita. Namun, tentunya pengalaman lalu masyarakat kita atas janji partai yang belum sepenuhnya terealisasi membuat kepercayaan masyarakat terhadap partai-partai meluntur. Dari tahun ke tahun janji yang sama tidak pernah sampai pada masyarakat kita yang membutuhkan realisasi janji itu, justru masyarakat kita dihadapkan dengan kenyataan koruptor yang seolah “patah tumbuh hilang berganti”.

Golput 2004 yang cukup tinggi adalah satu dari tindakan masyarakat untuk sedikit memberi pelajaran pada insan politik yang selalu murah senyum kendati tertangkap korupsi. Pemerintah yang khawatir akan meningkatnya masyarakat yang lebih memilih Golput mulai mengikutsertakan MUI dalam Pemilu 2009 ini. MUI (Majelis Ulama Indonesia), berbarengan dengan fatwa haram rokok juga mengeluarkan fatwa haramnya Golput bagi masyarakat. Lagi-lagi masyarakat kita yang harus kesulitan. Tentu saja, disaat bersamaan masyarakat yang ingin mengapresiasi kekecewaan justru di cegah oleh sebuah “fatwa”.

Dalam sebuah seminar, Eko Prasetyo sang penulis buku berjudul Kaum Miskin Bersatulah menyampaikan ada enam alasan kenapa kita tak harus memilih (menggunakan hak suara memilih) pada pemilu 2009 ini. Keenam alasan ini semuanya bermuara pada Golput sebagai pilihan akhir untuk pemilu sekarang. Karna, Golput sendiri merupakaan satu-satunya cara kita menyampaikan ketidakpercayaan dan ketidakpuasan kita atas kerja parpol dan wakilnya yang tidak bisa diturunkan begitu saja dari parlemen saat mereka tidak bisa memberi pelayanan yang sesuai dengan janji. Pilihan tetap ada ditangan kita, bagaimanapun pemerintah tidak sepenuhnya berhak pada hak suara yang dimiliki masyarakat. (Mida Mardhiyah)